Pelauw,RadarNews.id — Festival Ma’atenu atau atraksi cakalele khas Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, kembali digelar pada Kamis (6/11/2025). Ribuan warga berdatangan dari berbagai wilayah di Pulau Ambon bahkan dari luar Maluku untuk menyaksikan langsung tradisi budaya sakral yang menguji kekebalan tubuh para peserta dengan senjata tajam.
Pantauan di lokasi, area pelataran adat Pelauw yang berada dalam kawasan Jazirah Hatuhaha—atau dikenal dengan Negeri Matasiri—telah dipadati masyarakat sejak pagi hari. Para pemuda peserta ritual tampak mengenakan pakaian perang adat dan membawa parang yang telah diasah tajam.
Ma’atenu diyakini sebagian masyarakat Pelauw sebagai bentuk manifestasi jiwa keberanian Syaidina Ali, sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW yang dikenal gagah berani di medan perang. Karena itu, para lelaki yang terlibat dalam prosesi ini digambarkan sebagai simbol para pejuang Islam pada masa lampau.
Tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun ini menjadi bagian penting identitas masyarakat Hatuhaha. Pelauw sendiri merupakan ibu kota Kecamatan Pulau Haruku dengan luas wilayah sekitar 150 km².
Ritual Ma’atenu dapat diikuti oleh semua pria yang telah akil balig dan memiliki garis keturunan Negeri Pelauw. Tanpa persyaratan berat, peserta cukup bermodal keberanian, keyakinan akan kekuatan yang diwariskan leluhur, serta restu orang tua.
Sebulan sebelum acara, pemuka adat dan agama menggelar doa dan upacara adat di Masjid, memohon perlindungan kepada Allah SWT dan para upu (leluhur). Pada masa ini, calon peserta menyiapkan diri dengan menjaga kebersihan jiwa dari segala kesalahan, sekaligus menyiapkan senjata tajam dan pakaian perang.
Saat pelaksanaan, para pria dikumpulkan di rumah soa atau rumah pusaka. Ketika mereka keluar, Kepala Soa melakukan uji kekebalan dengan menebas tubuh peserta menggunakan parang yang diasah selama satu bulan penuh.
Menariknya, tubuh peserta yang ditebas tidak mengalami luka sedikit pun. Jika pun ada, hanya tampak guratan tipis tanpa darah.
Dalam prosesi perjalanan menuju tempat adat, para peserta berada dalam kondisi ka’a, yakni kekebalan terhadap berbagai senjata tajam seperti parang, pisau, kapak, hingga pecahan kaca. Kondisi ka’a ini bahkan diyakini juga dapat menjalar ke warga atau penonton di sekitar lokasi acara.(SLP-RN)

