AMBON,Radar News.id.---- Provinsi Maluku memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Pengelolaan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat kini menjadi tantangan besar pemerintah setempat.
Di
Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) potensi sumber daya mineral yang kini
berkembang menjadi pusat komoditas nikel. Kemudian di Bula, Kabupaten SBT
menjadi poros eksplorasi minyak dan gas. Pemetaan geologi mengindikasikan
potensi emas, chromite, mineral logam dasar dan geothermal di berbagai titik
strategis lainnya.
“Potensi
ini memberikan peluang ekonomi yang luas, namun sekaligus memerlukan tata
kelola yang kuat dan berkelanjutan,”kata Ketua DPD KNPI Maluku, Arman Kalean
kepada wartawan , di Media Cafe, Selasa (16/12) kemarin.
Menurutnya,
pengalaman masa lalu memberikan pelajaran penting. Penambangan ilegal di Gunung
Botak, Pulau Buru, menyebabkan pencemaran lingkungan serius akibat penggunaan
merkuri dan sianida, memicu konflik sosial antarkelompok penambang, dan memaksa
penertiban aparat keamanan.
Kerusakan
ekologis tersebut menyebabkan sedimentasi berat, degradasi hutan, penurunan
kualitas air, serta hilangnya berbagai fungsi ekologis wilayah dimaksud. Dampak
tersebut bukan hanya ekologis, tetapi juga memunculkan rasa kehilangan ruang
hidup, ketakutan kolektif serta krisis kesejahteraan bagi komunitas lokal.
“Kasus
Gunung Botak bukti pertambangan tanpa regulasi dan pengawasan memadai, memunculkan
krisis ekologis dan kerentanan sosial yang panjang,”ungkap Arman.
Berbagai
penelitian akademik menjelaskan, fenomena psikososial akibat kerusakan
ekologis. Dalam teori solastalgia, Albrecht (2005) menggambarkan perasaan
kehilangan dan keterasingan yang muncul ketika lingkungan seseorang berubah
drastis.
Kondisi
ini diperkuat oleh konsep ecological grief, yaitu duka mendalam akibat
hilangnya ekosistem yang menjadi dasar identitas masyarakat. “Maluku sebagai wilayah kepulauan yang
memiliki keterikatan emosional, spiritual, dan budaya terhadap ruang ekologisnya
sangat rentan terhadap fenomena- fenomena tersebut,”jelasnya.
Perspektif
Ekoteologi memberikan landasan moral penting dalam konteks ini. Ekoteologi
menempatkan alam sebagai entitas bernilai intrinsik yang harus dijaga
berdasarkan ajaran keagamaan.
“Dalam
tradisi Islam, ajaran khalifah fil ardh menegaskan kewajiban manusia menjaga
bumi; dalam Kekristenan terdapat teologi penciptaan yang menekankan tanggung
jawab moral terhadap ciptaan Tuhan, sedangkan dalam Katolik terdapat ensiklik
Laudato Si’ tentang keadilan ekologis,”paparnya.
Bagi
Maluku yang masyarakatnya religius, perspektif ekoteologi menjadi kekuatan etis
untuk menolak eksploitasi destruktif dan membangun tata kelola SDA yang adil
dan berkelanjutan.
Pendekatan
budaya Maluku juga menjadi fondasi utama dalam menjaga lingkungan. Konsep sasi,
pela-gandong, ain ni ain, dan larvul ngabal adalah sistem sosial-ekologis yang
telah berfungsi selama ratusan tahun dalam menjaga keseimbangan antara manusia
dan alam.
Sasi
melarang pemanfaatan sumber daya secara sementara untuk memungkinkan pemulihan
ekologis, pela-gandong menekankan solidaritas lintas komunitas untuk menjaga
ruang hidup bersama ain ni ain mempertegas bahwa melukai lingkungan berarti
melukai diri sendiri dan larvul ngabal menjadi norma adat yang melindungi tanah
sebagai entitas sakral.
“Berbagai
penelitian seperti Ellen (1993), Zerner (2003), dan studi etnoekologi terbaru
membuktikan efektivitas sistem budaya ini dalam melestarikan pesisir, hutan,
sungai, serta menjaga keberlanjutan biodiversitas lokal,”tegasnya.
Dengan
menyatukan pengalaman kerusakan lingkungan seperti di Buru, perspektif
ekoteologi, serta nilai budaya Maluku, kebutuhan membangun tata kelola tambang
yang berkelanjutan menjadi semakin mendesak. “Ekologi, spiritualitas, dan budaya harus
berjalan beriringan agar pembangunan daerah tidak hanya memperkuat ekonomi,
tetapi juga melindungi identitas, ruang hidup, dan keberlanjutan ekosistem
pulau-pulau Maluku,”ungkapnya.
Selain
berbagai dinamika tersebut, perkembangan pertambangan di Maluku juga
menunjukkan peluang baru yang memerlukan pengelolaan hati-hati dan berkeadilan.
Pemerintah pusat dan daerah kini mendorong identifikasi dan pembentukan WPR
barudi berbagai kabupaten di Maluku, termasuk Buru, SBB, SBT, dan pulau-pulau
lain yang memiliki indikasi mineral logam maupun non-logam.
“Pembentukan
WPR baru ini penting untuk memberikan ruang legal dan aman bagi aktivitas
pertambangan rakyat, sekaligus mencegah kerusakan ekologis yang lebih besar
akibat praktik ilegal,”terangnya.
Di
sisi lain, Maluku memiliki cadangan mineral yang belum dieksplorasi secara
optimal. Sejumlah studi geologi menunjukkan indikasi kuat keberadaan nikel
laterit, emas, kromit, tembaga, hingga potensi logam tanah jarang di beberapa
wilayah.
Dengan
meningkatnya kebutuhan global terhadap mineral kritis untuk energi hijau,
dorongan untuk melakukan eksplorasi komprehensif semakin penting.
“Eksplorasi
bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa rencana
penambangan di masa depan berbasis kajian ilmiah dan prinsip
keberlanjutan,”katanya.
Namun,
pengembangan WPR dan eksplorasi harus tetap memperhatikan keberlanjutan
ekologis,
perlindungan masyarakat adat, dan integrasi nilai budaya Maluku. Pengalaman
kerusakan lingkungan di Buru menjadi pengingat agar sejarah tidak berulang.
“Penguatan
regulasi, partisipasi masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal,
serta sinergi pemuda, akademisi, pemerintah, lembaga adat, dan pemuka agama
adalah kunci menuju tata kelola pertambangan yang adil, ekologis, dan
berkelanjutan,”tutupnya.(RNZ)

