Notification

×

Iklan



Iklan



Tag Terpopuler

Fatal Jika Pemerintah tak Lindungi Ekosistem di Maluku

Rabu, 17 Desember 2025 | Desember 17, 2025 WIB Last Updated 2025-12-17T12:45:00Z

                                             


                        

AMBON,Radar News.id.---- Provinsi Maluku memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Pengelolaan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat kini menjadi tantangan besar pemerintah setempat.

Di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) potensi sumber daya mineral yang kini berkembang menjadi pusat komoditas nikel. Kemudian di Bula, Kabupaten SBT menjadi poros eksplorasi minyak dan gas. Pemetaan geologi mengindikasikan potensi emas, chromite, mineral logam dasar dan geothermal di berbagai titik strategis lainnya.

“Potensi ini memberikan peluang ekonomi yang luas, namun sekaligus memerlukan tata kelola yang kuat dan berkelanjutan,”kata Ketua DPD KNPI Maluku, Arman Kalean kepada wartawan , di Media Cafe, Selasa (16/12) kemarin.

Menurutnya, pengalaman masa lalu memberikan pelajaran penting. Penambangan ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, menyebabkan pencemaran lingkungan serius akibat penggunaan merkuri dan sianida, memicu konflik sosial antarkelompok penambang, dan memaksa penertiban aparat keamanan.

Kerusakan ekologis tersebut menyebabkan sedimentasi berat, degradasi hutan, penurunan kualitas air, serta hilangnya berbagai fungsi ekologis wilayah dimaksud. Dampak tersebut bukan hanya ekologis, tetapi juga memunculkan rasa kehilangan ruang hidup, ketakutan kolektif serta krisis kesejahteraan bagi komunitas lokal.

“Kasus Gunung Botak bukti pertambangan tanpa regulasi dan pengawasan memadai, memunculkan krisis ekologis dan kerentanan sosial yang panjang,”ungkap Arman.

Berbagai penelitian akademik menjelaskan,  fenomena psikososial akibat kerusakan ekologis. Dalam teori solastalgia, Albrecht (2005) menggambarkan perasaan kehilangan dan keterasingan yang muncul ketika lingkungan seseorang berubah drastis.

Kondisi ini diperkuat oleh konsep ecological grief, yaitu duka mendalam akibat hilangnya ekosistem yang menjadi dasar identitas masyarakat.  “Maluku sebagai wilayah kepulauan yang memiliki keterikatan emosional, spiritual, dan budaya terhadap ruang ekologisnya sangat rentan terhadap fenomena- fenomena tersebut,”jelasnya.

Perspektif Ekoteologi memberikan landasan moral penting dalam konteks ini. Ekoteologi menempatkan alam sebagai entitas bernilai intrinsik yang harus dijaga berdasarkan ajaran keagamaan.

“Dalam tradisi Islam, ajaran khalifah fil ardh menegaskan kewajiban manusia menjaga bumi; dalam Kekristenan terdapat teologi penciptaan yang menekankan tanggung jawab moral terhadap ciptaan Tuhan, sedangkan dalam Katolik terdapat ensiklik Laudato Si’ tentang keadilan ekologis,”paparnya.

Bagi Maluku yang masyarakatnya religius, perspektif ekoteologi menjadi kekuatan etis untuk menolak eksploitasi destruktif dan membangun tata kelola SDA yang adil dan berkelanjutan.

Pendekatan budaya Maluku juga menjadi fondasi utama dalam menjaga lingkungan. Konsep sasi, pela-gandong, ain ni ain, dan larvul ngabal adalah sistem sosial-ekologis yang telah berfungsi selama ratusan tahun dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Sasi melarang pemanfaatan sumber daya secara sementara untuk memungkinkan pemulihan ekologis, pela-gandong menekankan solidaritas lintas komunitas untuk menjaga ruang hidup bersama ain ni ain mempertegas bahwa melukai lingkungan berarti melukai diri sendiri dan larvul ngabal menjadi norma adat yang melindungi tanah sebagai entitas sakral.

“Berbagai penelitian seperti Ellen (1993), Zerner (2003), dan studi etnoekologi terbaru membuktikan efektivitas sistem budaya ini dalam melestarikan pesisir, hutan, sungai, serta menjaga keberlanjutan biodiversitas lokal,”tegasnya.

Dengan menyatukan pengalaman kerusakan lingkungan seperti di Buru, perspektif ekoteologi, serta nilai budaya Maluku, kebutuhan membangun tata kelola tambang yang berkelanjutan menjadi semakin mendesak.  “Ekologi, spiritualitas, dan budaya harus berjalan beriringan agar pembangunan daerah tidak hanya memperkuat ekonomi, tetapi juga melindungi identitas, ruang hidup, dan keberlanjutan ekosistem pulau-pulau Maluku,”ungkapnya.

Selain berbagai dinamika tersebut, perkembangan pertambangan di Maluku juga menunjukkan peluang baru yang memerlukan pengelolaan hati-hati dan berkeadilan. Pemerintah pusat dan daerah kini mendorong identifikasi dan pembentukan WPR barudi berbagai kabupaten di Maluku, termasuk Buru, SBB, SBT, dan pulau-pulau lain yang memiliki indikasi mineral logam maupun non-logam.

“Pembentukan WPR baru ini penting untuk memberikan ruang legal dan aman bagi aktivitas pertambangan rakyat, sekaligus mencegah kerusakan ekologis yang lebih besar akibat praktik ilegal,”terangnya.

Di sisi lain, Maluku memiliki cadangan mineral yang belum dieksplorasi secara optimal. Sejumlah studi geologi menunjukkan indikasi kuat keberadaan nikel laterit, emas, kromit, tembaga, hingga potensi logam tanah jarang di beberapa wilayah.

 

Dengan meningkatnya kebutuhan global terhadap mineral kritis untuk energi hijau, dorongan untuk melakukan eksplorasi komprehensif semakin penting.

“Eksplorasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa rencana penambangan di masa depan berbasis kajian ilmiah dan prinsip keberlanjutan,”katanya.

Namun, pengembangan WPR dan eksplorasi harus tetap memperhatikan keberlanjutan

ekologis, perlindungan masyarakat adat, dan integrasi nilai budaya Maluku. Pengalaman kerusakan lingkungan di Buru menjadi pengingat agar sejarah tidak berulang.

“Penguatan regulasi, partisipasi masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, serta sinergi pemuda, akademisi, pemerintah, lembaga adat, dan pemuka agama adalah kunci menuju tata kelola pertambangan yang adil, ekologis, dan berkelanjutan,”tutupnya.(RNZ)

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update